MAKALAH
DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI
PERSYARAAN MATA PELAJARAN
SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM DIKERAJAAN CIREBON
Mata Pelajaran :
Disusun Oleh:
Haris Rosi
MAS. AL-MANSHURY SUNGAI BAKAU BESAR LAUT
KEC. SUNGAI PINYUH KAB. MEMPAWAH KODE POS 78353
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa
karena atas limpahan rahmat, hidayah dan inayahnya maka kami dapat
menyelesaikan makalah “SKI”. Dengan judul
“Sejarah Perkembangan
Islam Dikerajaan Cirebon” dapat
terselesaikan dengan baik dan semampu penulis.
kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini
masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat kami harapkan dari berbagai
pihak sebagai bahan perbaikan dalam proses penyusunan materi yang selanjutnya.
Tak lupa ucapan terima kasih kami haturkan
kepada (guru bidang study)selaku guru
mata pelajaran “SKI” karena atas
jasa dan pengaruhnya kami dapat mengetahui materi tersebut. Tak lupa pula
kami ucapkan terimakasih kepada Ayah dan bunda tercinta serta kepada
rekan-rekan seperjuangan karena atas dorongan dan semangat kerja samanya yang
baik sehinga kami dapat aktif dalam mengikuti proses belajar pada saat ini.
Akhirnnya
disampaikan terima kasih.
Mempawah, 16 Januari
2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR...................................................................................
DAFTAR
ISI.................................................................................................. .......
BAB
I PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kesultanan
Cirebon.................................................................
B.
Sejarah ......................................................................................................
C.
Perkembangan Awal
.................................................................................
D.
Pendirian ...................................................................................................
BAB
II PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................
B.
Saran .........................................................................................................
C.
Daftar
Pustaka...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi
nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di
sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal
atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah
sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang
kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah
air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang
kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan
sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar
dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Kesultanan Cirebon?
2.
Bagaimana Sejarah?
3.
Bagaimana Perkembangan Awal?
4.
Bagaimana Pendirian?
C.
Tujuan
1.
Ingin
Mengetahui Pengertian Kesultanan Cirebon.
2.
Ingin Mengetahui Sejarah.
3.
Ingin Mengetahui Perkembangan Awal.
4.
Ingin Mengetahui Pendirian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kesultanan
Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di
Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam
jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya
menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Kesultanan
Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara
islam kesultanan cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton
kasepuhan
cirebon.
B.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di
sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal
atau berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian
menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
C.
Perkembangan awal
1.
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga
dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari
Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati,
Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu
Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih
menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan
pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk
memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang
kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada
tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan
pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara
Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas
Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah
sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran
Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat
perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah
memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut
akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
2.
Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan
sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang
diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di
wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya
kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya
yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu
(Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi
atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi
dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari
Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
D.
Pendirian
1.
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung
Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Ged eng Tapa).
Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara
Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak
sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu
dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki
Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran
Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta
Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung
Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M [1][2][3][4] . Dengan
demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai
menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai
"raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan
aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.[butuh rujukan]
Pangeran
Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m.
2.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1478 diadakan
sebuah musyawarah para wali di kabupaten Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para
wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat
kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan
keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi.
Pada tahun 1479 M,
kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra
adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang
dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi
Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai
Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar
pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep
Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif Hidayatullah
melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya
yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam
seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama
menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah
dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil,
pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi
satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam
naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Pada tanggal 12 Shafar 887
Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif
Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi
selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti[8][9]. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para
pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).
Untuk
memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan
dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
·
Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu
Kirana.
·
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
·
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu
Ayu Wulan)
·
Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran
Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung
Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan
Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar
agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa,
dan Banten.
3.
Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya
Pangeran Kuningan
Syiar Islam ke wilayah
Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun
dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada
1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan putera Ki
gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran
Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama Sangkuku
diangkat sebagai Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan[12].
4.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang
kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama
Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak
tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua
tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung
Jinem Astana Gunung Sembung.[butuh
rujukan]
5.
Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya
Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan
penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin
kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan
dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.[49] Benteng Kuta
Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja
diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Benteng Kuta Raja Cirebon
diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut
diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[50] dan tiga tahun setelah
ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian
monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih
dapat dikenali.
6.
Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat
atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan Candrasangkala
yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka
jawa (tahun Jawa) [42], menurut H.B Vos, kereta
Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan
tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi [51]
Kereta Singa
Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis
pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki
Nataguna dari desa Kaliwulu[52]
7.
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian terhadap
kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran
Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati,
kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari
kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan
Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi
dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan
keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan
keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar
terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan
Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten
di tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada
tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing
yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan
atas kepustakaan kraton[55]
Hal tersebut
merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah
menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa
berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan :
·
Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan
gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
·
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan
gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
·
Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan
gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati
(1679-1713).
Perubahan gelar
dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat
belajar para intelektual keraton.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di
sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal
atau berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian
menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
B. Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, maka kami
mengharapkan agar pembaca dapat memberikan saran-saran yang tidak menutup
kemungkinan dapat mendatangkan manfaat bagi makalah ini:
1.
Diharapkan makalah
ini bisa bermnfaat pada keilmuan yang selanjutanya yang akan menjelaskan lebih
jauh tenang judul makalah ini.
2.
Diharapkan pada makalah
ini bisa di jadikan rujukan untuk pembaca dan pelajar manusia yang ada di dunia
ini.
Custom Ceramic Wedding Band - Titanium Art
ReplyDeleteCustom Ceramic Wedding Band. TITanium Art is a handmade piece seiko titanium of titanium 4000 ceramic pieces titanium dive watch created men\'s titanium wedding bands by Tithi, who have created a titanium app Wedding Band.
f111u8zsqbw966 male masturbator,horse dildo,vibrators,realistic dildo,dildos,vibrators,wholesale sex doll,women sexy toys,dog dildo m167r8tkzlv990
ReplyDelete