Sunday, 16 July 2017

makalah sejarah perkembangan islam dikerajaan cirebon



MAKALAH
DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARAAN MATA PELAJARAN
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DIKERAJAAN CIREBON
Mata Pelajaran :
Guru Pembimbing:
 






Disusun Oleh: 
Haris Rosi






MAS. AL-MANSHURY SUNGAI BAKAU BESAR LAUT
KEC. SUNGAI PINYUH KAB. MEMPAWAH KODE POS 78353
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa karena atas limpahan rahmat, hidayah dan inayahnya maka kami dapat menyelesaikan makalah “SKI”. Dengan judul “Sejarah Perkembangan Islam Dikerajaan Cirebon dapat terselesaikan dengan baik dan semampu penulis.
kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahannya. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sangat kami harapkan dari berbagai pihak sebagai bahan perbaikan dalam proses penyusunan materi yang selanjutnya.
Tak lupa ucapan terima kasih kami haturkan kepada (guru bidang study)selaku guru mata pelajaran “SKI” karena atas jasa dan pengaruhnya kami dapat mengetahui materi tersebut. Tak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Ayah dan bunda tercinta serta kepada rekan-rekan seperjuangan karena atas dorongan dan semangat kerja samanya yang baik sehinga kami dapat aktif dalam mengikuti proses belajar pada saat ini.
Akhirnnya disampaikan terima kasih.      






           
Mempawah, 16 Januari 2017

Penulis



DAFTAR ISI
            KATAPENGANTAR...................................................................................
            DAFTAR ISI.................................................................................................. .......
            BAB I PEMBAHASAN
A.      Pengertian Kesultanan Cirebon.................................................................
B.       Sejarah ......................................................................................................
C.       Perkembangan Awal .................................................................................
D.      Pendirian ...................................................................................................
            BAB II PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................
B.     Saran .........................................................................................................
C.     Daftar Pustaka...........................................................................................
















BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Kesultanan Cirebon?
2.      Bagaimana Sejarah?
3.      Bagaimana Perkembangan Awal?
4.      Bagaimana Pendirian?
C.    Tujuan
1.      Ingin Mengetahui Pengertian Kesultanan Cirebon.
2.      Ingin Mengetahui Sejarah.
3.      Ingin Mengetahui Perkembangan Awal.
4.      Ingin Mengetahui Pendirian.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton kasepuhan cirebon.
B.     Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

C.    Perkembangan awal
1.      Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
2.      Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

D.    Pendirian
1.      Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Ged eng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M [1][2][3][4] . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.[butuh rujukan]
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m.
2.      Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di kabupaten Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi.
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti[8][9]. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
·         Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
·         Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
·         Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
·         Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.


3.      Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan putera Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan[12].
4.      Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.[butuh rujukan]
5.      Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.[49] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[50] dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.


6.      Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa) [42], menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi [51]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu[52]
7.      Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[55]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan :
·         Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
·         Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
·         Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

















BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

B.     Saran
Dari hasil kesimpulan di atas, maka kami mengharapkan agar pembaca dapat memberikan saran-saran yang tidak menutup kemungkinan dapat mendatangkan manfaat bagi makalah ini:
1.    Diharapkan makalah ini bisa bermnfaat pada keilmuan yang selanjutanya yang akan menjelaskan lebih jauh tenang judul makalah ini.
2.    Diharapkan pada makalah ini bisa di jadikan rujukan untuk pembaca dan pelajar manusia yang ada di dunia ini.


2 comments:

  1. Custom Ceramic Wedding Band - Titanium Art
    Custom Ceramic Wedding Band. TITanium Art is a handmade piece seiko titanium of titanium 4000 ceramic pieces titanium dive watch created men\'s titanium wedding bands by Tithi, who have created a titanium app Wedding Band.

    ReplyDelete