MAKALAH
DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI
PERSYARAAN MATA PELAJARAN
SEJARAH PERKEMBANGAN
ISLAM DIKERAJAAN MATARAM DAN CIREBON
Mata Pelajaran : SKI
Yusmayana S.pd.I
Disusun Oleh: Kelompok 2
Devi Novita Indriani
Linda Wati
Nur Azizah
Haris Rosi
Muslimah
Iwandi
MAS. AL-MANSHURY SUNGAI BAKAU BESAR LAUT
KEC. SUNGAI PINYUH KAB. MEMPAWAH KODE POS 78353
2016/2017
A.
Awal perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat
Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede.
Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Mataram yaitu : Penembahan
Senopati (1584-1601), Panembahan Seda Krapyak (1601-1677).
Dalam sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki
peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di
Nusantara (Indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk
memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya,
keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak
islam di Jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan
pajang sebagai balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang.
Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram kepada Ki Ageng Pemanahan.
Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman
baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan
usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis tanggapan dari para penguasa
setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara
terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki
Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng
Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak
mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu.
ia membangun pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan
para penguasa yang menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia
digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar.
Di samping bertekad melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita
membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara mataram
dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang tegang antara sutawijaya dan
kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini,
kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya
meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram
dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan
memindahkan senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah
kekuasaanya, penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah
sekitar. Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa
disebut dengan senopati menguasai madiun, yang waktu itu bersekutu dengan
surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri dan jipang, lalu melanjutkannya
dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-1599.
Sebagai raja islam yang
baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu untuk
mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama islam,
untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita
itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak di
sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan
senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di
Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu
disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah Jawa.
B. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan
mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan
mutlak adaa pada diri sultan. Seorang sultan atau raja sering digambarkan
memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka
dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali
seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah
kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada
pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau
Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu,
Panembahan senopati terus-menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai
bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas
Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 – 1613). Peran mas Jolang tidak
banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan
oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik
kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja
mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa
kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan
dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh
Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja
sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia
dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan
gelar “Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi
“Susuhunan” atau “Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima
pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya
Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah
seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun terlibat dalam perang yang
berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC
yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan
kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615, kekuatan tentara
mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang sangat strategis untuk
menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi
pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban,
Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh
tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di
tahun yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat
dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk
menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu
menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624).
Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram
menjadi kerajaan yang sangat kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh
pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di
Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut
menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang masih
bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di
bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk
mengempung Batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan
Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan
tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih,
dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung
kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng
Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat
dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu
juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat
diintegrasikan pada tahun 1639.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan
Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung Baureksa gugur. Kegagalan
tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih,
dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung
kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng
Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat
dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu
juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang dapat
diintegrasikan pada tahun 1639.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah
kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan di tanah Jawa. Oleh sebab itu,
struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan.
Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan upaya
pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan
istana.
Di antara semua karyanya , peran sultan agung
yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung
memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan
tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen
menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil
menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi
seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun
hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini
tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat
penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan
sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan
kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat
ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan
non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan
Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman
senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun
sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil
(1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang
bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m)
pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung
menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara keluarga
raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak hanya
menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran islam.
B.
.Kemajuan yang
dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung
Kemajuan yang dicapai meliputi kemajuan di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu :
a.
Bidang politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung
adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di
Batavia.
b.
Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
Sultan Agung berhasil menyatukan
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha inidimulai dengan menguasai Gresik,
Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu
usahanya mempersatukan kerajaan Islamdi Pulau Jawa ini ada yang dilakukan
dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya
Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari
c.
Anti penjajah Belanda
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci
terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda
ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629.
1. Ki Ageng Pamanahan ( Ki
Gede Pamanahan )
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584
2. Sutawijaya ( Danang
sutawijaya )
- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede.
- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede.
3. Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati /
Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
- raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
- putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
- Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
- meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak"
- raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
- putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
- Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
- meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak"
4. Raden Mas Rangsang
(Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas Jatmika )
- lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645
- raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
- Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
- Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November 1975.
- putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri Pangeran Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati ))
- Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
- kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan VOC
- menyerang Batavia sebanyak 2x.
serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 ) dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
- lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645
- raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
- Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
- Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November 1975.
- putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri Pangeran Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati ))
- Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
- kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan VOC
- menyerang Batavia sebanyak 2x.
serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 ) dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
5. Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat
Agung)
- Memerintah pada tahun 1646-1677
- Memiliki gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
- Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupatiBatang (keturunan Ki Juru Martani).
- Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
- memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
- mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas
- menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
- Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
- Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
- hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
- tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal
- Memerintah pada tahun 1646-1677
- Memiliki gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
- Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupatiBatang (keturunan Ki Juru Martani).
- Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
- memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
- mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas
- menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
- Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
- Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
- hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
- tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal
6. Amangkurat II (Nama
asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat )
- putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari Surabaya.
- memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III)
- Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
- Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.
- Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
- Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
- putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari Surabaya.
- memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III)
- Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.
- Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.
- Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
- Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
7. Amangkurat III (Nama
aslinya adalah Raden Mas Sutikna )
- memerintah antara tahun 1703– 1705.
- dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
- Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
- Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
- Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
- Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
- VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
- Meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
- Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
- Perang Suksesi Jawa I (1704–1708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
- Perang Suksesi Jawa II (1719–1723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
- Perang Suksesi Jawa III (1747–1757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
- memerintah antara tahun 1703– 1705.
- dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
- Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
- Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana ia kemudian pindah ke Kediri.
- Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
- Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
- VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka.
- Meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
- Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
- Perang Suksesi Jawa I (1704–1708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
- Perang Suksesi Jawa II (1719–1723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya.
- Perang Suksesi Jawa III (1747–1757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
E. Peninggalan sejarah kerajaan mataram Islam :
1.
Sumber- Sumber Berita:
a. Babad Tanah Djawi
b. Babad Meinsma
c. Serat Kandha
d. Serat Centini
e. Serat Cabolek
f. Serat Dharma Wirayat (yang sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.)
g. Serat Nitipraja
h. Babad Sangkala
i. Babad Sankalaniang Momana
j. Sadjarah Dalem
a. Babad Tanah Djawi
b. Babad Meinsma
c. Serat Kandha
d. Serat Centini
e. Serat Cabolek
f. Serat Dharma Wirayat (yang sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.)
g. Serat Nitipraja
h. Babad Sangkala
i. Babad Sankalaniang Momana
j. Sadjarah Dalem
2.
Seni dan Tradisi:
a. Sastra Ghending karya Sultan Agung
b. Tahun Saka
Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan
c. Kerajinan Perak
Perak Kotagede sangat terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan dari orang-orang Kalang.
d. Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yg dibakar melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya
e. KUE KIPO
Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa, tepung, dan gula merah.
f. Pertapaan Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.
III. Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:
a. Segara Wana dan Syuh Brata
Adalah meriam- meriam yang sangat indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda) atas perjanjiannya dengan Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan keraton Surakarta dan merupakan meriam yang paling indah di nusantara
b. Puing - puing / candi- candi Siwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan
c. Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
d. Baju “keramat” Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
e. Masjid Agung Negara
Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
f. Masjid Jami Pakuncen
Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, merupakan salah bangunan peninggalan Islam yang dibuat Sunan Amangkurat I sebagai salah satu tempat penting untuk penyebaran Islam kala itu.
g. Gerbang Makam Kota Gede
Gerbang ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.
h. Masjid Makam Kota Gede
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
i. Bangsal Duda
j. Rumah Kalang
k. Makam Raja- Raja Mataram di Imogiri
a. Sastra Ghending karya Sultan Agung
b. Tahun Saka
Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan
c. Kerajinan Perak
Perak Kotagede sangat terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan dari orang-orang Kalang.
d. Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yg dibakar melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya
e. KUE KIPO
Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa, tepung, dan gula merah.
f. Pertapaan Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.
III. Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:
a. Segara Wana dan Syuh Brata
Adalah meriam- meriam yang sangat indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda) atas perjanjiannya dengan Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan keraton Surakarta dan merupakan meriam yang paling indah di nusantara
b. Puing - puing / candi- candi Siwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan
c. Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
d. Baju “keramat” Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
e. Masjid Agung Negara
Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
f. Masjid Jami Pakuncen
Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, merupakan salah bangunan peninggalan Islam yang dibuat Sunan Amangkurat I sebagai salah satu tempat penting untuk penyebaran Islam kala itu.
g. Gerbang Makam Kota Gede
Gerbang ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.
h. Masjid Makam Kota Gede
Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
i. Bangsal Duda
j. Rumah Kalang
k. Makam Raja- Raja Mataram di Imogiri
CIREBON
A. Pengertian Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai
utara pulau
Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa
dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas,
yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung
pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak
dalem agung pakungwati sekarang menjadi keraton kasepuhan cirebon.
B.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari
berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian
yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya
sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.[5]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber
daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan
menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain
itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa
Barat.
C.
Perkembangan awal
1.
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga
dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari
Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati,
Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu
Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih
menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang
dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun
sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.[6] yang sekarang menjadi bagian dari
kompleks keraton Kanoman,kesultanan
Kanoman, setelah
mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas
Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji
ke Mekah, disana nyimas Rara Santang menemukan
jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak
ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya
untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri
yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan
perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
2.
Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan
sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang
diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di
wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya
kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya
yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu
(Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi
atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi
dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari
Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.[butuh
rujukan]
D.
Pendirian
1.
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung
Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran.
Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang
pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Ged eng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai
dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak
mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan
oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya),
sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda
Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
kedua Nyai Cantring Manikmayang.[butuh
rujukan]
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah
pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah
tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk
pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M [1][2][3][4] . Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian
disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama
yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam
kepada penduduk Cirebon.[butuh
rujukan]
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m[7]
2.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1478 diadakan
sebuah musyawarah para wali di kabupaten
Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan
Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat
kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten
Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut
sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia)[8]
Pada tahun 1479 M,
kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra
adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang
dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi
Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai
Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar
pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep
Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[9]
Syarif Hidayatullah
melalui lembaga Wali
Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi)
agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang
Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah
dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil,
pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi
satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam
naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Pada tanggal 12 Shafar 887
Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif
Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi
selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti[8][9]. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para
pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan
Demak dilakukan
dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[10]
- Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
- Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Sunan Gunung
Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan
Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat
seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[11]
3.
Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya
Pangeran Kuningan
Syiar Islam ke wilayah
Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya Ki
gede Luragung, pada 1 September 1488, Sunan
Gunung Jati menjadikan putera Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran
Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama Sangkuku
diangkat sebagai Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan[12].
4.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan
itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung
Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah
Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta
kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung
Sembung.[butuh
rujukan]
5.
Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya
Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan
penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang
Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan
yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari
persahabatan.[49] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah
Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan
bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Benteng Kuta Raja Cirebon
diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut
diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[50] dan tiga tahun setelah
ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian
monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih
dapat dikenali.
6.
Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat
atas perintah Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1649 m berdasarkan Candrasangkala
yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka
jawa (tahun Jawa) [42], menurut H.B Vos, kereta
Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan
tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi [51]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran
Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem
Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa
Kaliwulu[52]
7.
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian terhadap
kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran
Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati,
kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari
kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa
membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan
untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena adanya
perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan
Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya,
Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya
menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada
tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing
yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran
Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan
atas kepustakaan kraton[55]
Hal tersebut merupakan babak baru bagi
kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya
setelah resmi dinobatkan :
- Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
- Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan
bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan,
mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing.
Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan.
Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
No comments:
Post a Comment